Putih

Sae Rizkina Ramada
2 min readApr 29, 2020

--

Ada denting yang kauseret entah dari nada yang mana; itu setengah mengertiku yang menjelma dari bunyi. Keberadaanku tak terlacak, baik dari suara apalagi kata-kata. Gerak timit-timit yang bisa saja dengan mudah kauimpit, sungguh, kau lebih tinggi daripada nada yang kau lentingkan lewat dorongan jemari. Kira-kira begini bentuk kalimatku jika berkesempatan ditanya olehmu.

Namun peranku hanya sebatas bayang-bayang, tak lebih penting dari pahatan di baris epitaf yang kaupunya. Tapi aku menemukan sederet persamaan dan perbedaan sejak pertama kali kauinjakkan kaki kemari. Alih-alih pakaian, perhiasan, atau peralatan kecantikan, justru panjang bilah piano yang kaugeret masuk. Benda itu menelan satu-satunya petak kosong di antara dipan dan lemari.

Selain ruang, ada banyak hal lain yang tersita setelah itu. Tak ada detik yang dihabiskan selain duduk di depan balok hitam-putih. Mungkin sesekali berdiri, menengok jendela, duduk lagi. Di kesempatan lain pergi ke kamar mandi, menyeduh kopi, bermain lagi. Selama satu minggu, jam tidur bergabung dalam daftar hal yang tanggal.

Melihatmu, kadang-kadang aku ingin jadi tukang sulap. Seperti halnya menyelesaikan kelaparan dalam genggaman, membeli obat dalam satu panggilan telepon, aku pun ingin melenyapkan pikiran yang kaulamunkan. Tapi sayang, tak ada tukang urut yang bisa meluruskan kilir nasib. Ngomong-ngomong soal nasib, nyawaku juga bergantung pada perempuan ini. Biasanya dari remahan roti atau kulacino dari secangkir kopi. Maka dari itu aku ingin membantu meski sesekali. Tapi informasi tentangmu tak banyak kutemukan. Telah lama kupahami bahwa kau meninggalkan banyak hal: pekerjaanmu, keluargamu, rutinitasmu selain dalam sepetak yang putih. Lalai kusimpulkan padamu mengingat beban adalah satu-satunya yang belum kautinggalkan.

Daripada itu, kurasa kau jauh mengerti banyak tentang kendali, termasuk mengenai lenting tanda tanya akan Berhenti. Karena hidupmu bergantung pada diri sendiri, lain halnya denganku yang hanya diam menunggu sisa-sisa. Menunggu membuatku terlena bahwa hari ini tak ada roti di atas meja. Hanya kau, tepekur di depan piano tanpa nada yang dimainkan. Lebih-lebih kupahami, benda itu menyita satu hal lagi, dan aku harus pergi.

Sebermula nyawa adalah gugu, pada bilah-bilah piano, di warna apa kau akan berhenti?

___

epitaf/epi·taf/ /épitaf/ n 1 tulisan singkat pada batu nisan untuk mengenang orang yang dikubur di situ;

kulacino/ku·la·ci·no/ /kulacino/ n 1 genangan air di permukaan bidang, seperti meja, yang terbentuk akibat gelas dingin atau berisi minuman dingin;

--

--