di Patio

Sae Rizkina Ramada
4 min readApr 18, 2020

--

16.00

“Bagaimana dengan kisah saat kau dilahirkan?”

Sebelum sore menjadi angin, dan matahari beranjak surut, disempatkannya perbincangan itu berlangsung di beranda. Mereka berlarian pada labirin berjudul siapa yang paling pintar mengetat-rapatkan rahasia, menemukan satu sama lain lewat intuisi yang digali melalui rasa ingin tahu. Segala yang terlontar bukanlah apa-apa yang bisa diraba sebagaimana pertemuan pertama mereka kala itu.

“Bagaimana aku dilahirkan merupakan persoalan yang tidak menarik, Luna. Kukira sama halnya sepertimu.”

Betul, kan? Balasan itu cuma membangun lebih banyak sekat. Belum lagi jawabannya diantar lewat jemari yang bergerak di sela-sela helai rambut. Magis, penuh daya tipu.

“Namun? Aku tahu kalimat itu belum selesai, Hill.” ucap Luna sambil bangun dari pangkuan itu, menyelami ombak besar yang tenang di kedua mata Hill. “Sesuatu yang lebih menarik menunggu di baliknya.”

Laki-laki itu tertawa. “Kamu pintar,” tukasnya. “Yang menarik adalah bagaimana kisah sebelum aku.”

___

02.00

Dentuman musik menggema dalam ruangan. Riuh rendah keramaian mengisi berkejaran. Lantai berceceran akan yang haus dan maniak berdansa. Sekali bersulang, gerbang surga terbuka lebar-lebar. Semuanya melebur tanpa ada andai-andai akan hari esok. Bahkan matahari belum bangun, kedahuluan gegap gempita.

Ada sebuah siklus yang otomatis terjadi di sini. Satu, sematanmu tak pernah dari satu yang sejenis. Dua, entah kau akan dipasangkan dengan lembut atau keras, kau tak pernah bisa memilih. Tiga, tak peduli dengan siapa, yang terpenting hasil akhirnya. Yang terakhir jarang terjadi, kecuali dalam keadaan darurat.

Bisa saja hari ini merupakan yang darurat, tak ada yang pernah tahu. Yang jelas, keadaan di luar sana tak lagi senyap seperti kemarin. Ada proyek besar sehingga kebisingan menjalar dari dinding sebelah. Sekolah baru? rumah makan baru? Atau diskotik pesaing baru? Hahaha. Helena hanya bisa menebak-nebak sambil terus melayang-layang di lantai dansa. Percuma juga menyebut kawasan ini diskotik, toh isinya hanya benda-benda murah dengan pengunjung yang bau tanah. Semua hal di sini minta dijamah, hanya itu.

“Waduh, rusak!”

Itu suara Si Master. Kepala tempat ini. Ia yang mengendalikan pergerakan segala hal di sini, termasuk Helena. Aktivitas menjadi terhenti karena seruan yang mengarahkan semua penjuru mata padanya. Ah, sial sekali bukan? Ini kan gilirannya, mengapa ia harus berhenti di tengah jalan karena alasan teknis?

“Lihat apa sih kalian? Lanjutkan saja! Biar kucari penggantinya.” Master bersuara lagi. Pembubaran pusat atensi sebab tak ada yang nyaman ditelanjangi oleh mata. Helena sudah terlanjur berbaring tak berdaya, terpegang setengah jadi. Sematannya gugur di tengah-tengah, menjadikan siklus ini sedikit gagal karena kehilangan separuh nyawa; kenikmatannya. Gusar, namun tak ada yang dapat disalahkan.

Ia beranjak ke luar, mencoba menghibur diri dengan menengok proyek yang selama ini tak pernah dihiraukan. Proyek apa itu, tak dapat ia terka. Selama ini pembangunan selalu dikerjakan bersama matahari. Pun ketika telah surut, ya seharusnya berhenti. Namun ini apa, Helena tidak pernah tahu. Terlalu mematung di depan membuatnya hampir tak sadar seseorang menepuk pundaknya dari belakang, “Hei,”

Helena terkesiap. Lebih-lebih terkejut karena yang berdiri di depannya tidak pernah ditemui sebelumnya. Beda spesies, bukan yang pernah hadir di diskotik. Tapi boleh juga. Apakah bisa?

“Aku dari sebelah,” ucap Helena, eksplanatif, tanpa ada tanya yang harus mendahului.

“Ooh, aku mengerti.” pungkas orang itu, tenang. Mengapa tanpa heran? “Kamu terlalu lembut untuk orang proyek.”

“Jadi ini rayuan?”

“Boleh dianggap begitu.”

Ini aneh sekali. Bayangan akan pengganti untuk Helena tiba-tiba saja tergantikan oleh kehadiran orang proyek ini. Tapi dia kan berbeda? Tidak masuk akal. Banyak hal yang perlu dilogiskan di sini.

Sematanmu siapa?”

“Kau tertarik?”

Jebakan? Ini terlalu sulit. “Semua mahkluk punya, kan?” tanpa dijawab pun Helena sudah tahu. Ia hanya ingin memastikan. “Aku punya, namun gugur. Sempat berhenti di tengah jalan dan menjadikanku pusat atensi,” lanjutnya gusar.

“Mau mencobanya denganku?”

___

18.00

“Jadi begitu, Luna.”

Hill baru saja mengakhiri ceritanya. Tentang orangtua yang tak pernah ia singgung sebelumnya. Tidak begitu mengejutkan, sebab Luna pun perlu mencintai ayah ibunya secara terpisah. Namun kenyataan bahwa Hill tidak diaduk dengan spatula, atau garpu, melainkan ia diaduk dengan drill! Mungkin inilah yang menjadikan namanya Hill… Helena dan Drill… aneh..

“Apa yang membuatmu bertanya?” kalimat Hill akhirnya memotong sunyi. Luna terkesiap, dipandangnya laki-laki itu dengan nanar.

Hill melanjutkan kata-katanya. “Sebab kau tidak pernah. Bahkan ketika aku pulang dengan luka di sekujur tubuhku, atau saat pernikahan tanpa kehadiran wali untukku, tak pernah kudengar kau mengucap apa dan mengapa.”

“Karena waktunya semakin dekat.” nafas Luna tercekat. “Setidaknya aku kehilangan kau dengan bayangan yang utuh di kepalaku. “

Hill tersenyum. “Kau tahu itu, Luna.”

“SELANJUTNYA!!”

Ketika seruan itu berdengung dari jendela, Hill tahu bahwa ajalnya telah tiba. Ia beranjak, mengemas diri dalam kotak, menanggalkan semua yang pernah ada, termasuk Luna yang masih perlu bertahan di nomor-nomor berikutnya. Siklus yang singkat sebagai kudapan merupakan hal yang tak pernah ia sesali, apalagi dengan membawa berbagai rasa dan memiliki pendamping dengan varian lain sebagai teman hidupnya. Bagi Hill, hidup tak pernah sebegitu dihargai daripada menjadi makanan yang diperdebatkan serupa terang bulan dan martabak manis. Karena ia keduanya, tiap-tiap manusia saja melihatnya berbeda.

Tapi kalau boleh memilih, ia ingin berbagi nama dengan Luna, dengan versi yang manis.

____

18/04–22.00

Maka aku terbangun, kepala miring bersandar pada patio. Adonan itu menunggu terjamah di atas meja. Gendang telingaku berdengung, nyaris bersamaan dengan jeritan yang sama dari tembok sebelah. Pada lambat laun kesenyapan menjemput bising yang mereda, sebuah pesan masuk:

‘Maaf jika berisik. Istriku minta renovasi pada kamar’

Nguuung nguuung

Seperti kereta api yang beranjak pergi, kesedihan menjemputku lewat satu mimpi. Gila rasanya memikirkan aku tertidur diantar cerita rupa stensilan antar terang bulan, tembok dan bor. Kepalaku terasa berputar-putar, berusaha menyibak batas realitas. Belum tuntas hal tersebut kupikirkan, sebaris tanya hadir dalam ponselku.

‘Nanti kita bertemu?’

‘Kapan?’

‘Setelah dia tidur, ya’

Ibarat adonan terang bulan di meja, perasaanku teraduk dengan paksa. Mimpi ini melebur dengan realita yang membawaku pada kegamangan: apakah itu air mata, atau lantun doa yang belum sempat diucapkan.

- Fin -

--

--